IKLAN HARI INI

Sunday, March 18, 2007



PERSOALAN BUKAN PADA GIZI TETAPI PADA KANTONG

KETIKA rang modern bicara soal makanan, masalah gizi selalu menjadi perhatian। Soal ini pula yang dipertanyakan saat orang mengonsumsi makanan serba praktis, apakah lauk-pauk dalam kaleng, nugget atau juga corn flakes sebagai makanan untuk sarapan।Kekhawatiran lain adalah, apakah makanan yang tak segar tidak menimbulkan penyakit?Ahli gizi dari Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Yusnalaini Y Makawi menjawab kekhawatiran ini dengan mengatakan, "Kandungan gizinya bisa sama dengan makanan segar karena toh makanan kaleng diproses dengan cara tertentu sehingga kandungan gizinya tak hilang।"Dalam proses pemasakan, lanjutnya, memang ada penurunan kandungan protein, lemak serta karbohidrat, namun penurunan tersebut tidak signifikan। "Pada makanan segar pun bisa terjadi penurunan vitamin C, vitamin B, dan mineral pada saat pencucian dan pembersihan। Atau penurunan vitamin C dan thiamin akibat pemanasan," jelas Yusnalaini।Pada makanan dalam kaleng, tujuan pengolahan antara lain untuk daya tahan, mempertahankan kualitas, serta menganekaragamkan rasa।Untuk mengawetkan supaya makanan tahan lama, ada berbagai cara yang biasa digunakan, yakni sterilisasi, memanggang atau mengasapkan। "Lalu ada lagi pemberian zat-zat tertentu supaya makanan menjadi awet, yakni ditambah garam, natrium agar menarik air atau diberi gula supaya bakteri tertentu tidak bisa hidup pada kekentalan tertentu," jelas ahli gizi ini.Kekhawatiran terhadap penyakit kanker akibat sering makan makanan dalam kaleng, menurut dia harus dikembalikan pada apa yang membuat makanan itu menjadi berbahaya. Kandungan lemak tinggi yang diduga bisa menimbulkan kanker usus, payu dara atau prostat, menurut Yusnalaini ini tidak monopoli makanan dalam kaleng."Kalau lemak tinggi yang menjadi sebab, pada fast food atau makanan cepat saji pun juga demikian," katanya. Begitu juga kandungan garam yang tinggi yang dikhawatirkan bisa menimbulkan kanker saluran pencernaan, terdapat pula pada jenis makanan lain.Lagipula, lanjutnya, pada umumnya orang tidak akan me- ngonsumsi makanan dalam kaleng setiap hari. "Yang paling penting adalah frekuensi. Kalau sesekali, seminggu dua kali selama seseorang tidak mempunyai penyakit tertentu seperti darah tinggi yang harus menghindari garam tinggi, saya pikir tidak masalah," kata Yusnalaini.Beberapa pesan yang perlu untuk memilih makanan dalam kaleng dikemukakan ahli gizi ini. "Tentu saja masalah halal atau tidaknya, itu menjadi prioritas terutama untuk sebagian besar masyarakat kita yang beragama Islam. Lalu keutuhan kaleng, artinya tidak penyok, tidak berlubang meski hanya kecil, tanggal kedaluwarsa, serta kandungan isinya," demikian menurut ahli gizi dari RSPAD Gatot Soebroto ini.Ia menggarisbawahi perlunya kebiasaan makan secara seimbang dalam hal apa pun. Makanan yang serba praktis, akan baik bila ditambah dengan buah dan sayuran.Ini berlaku untuk sarapan pagi berupa corn flakes. "Karena biasanya dimakan bersama susu, ini baik untuk sarapan, te- tapi akan lebih baik lagi jika sarapan itu dilengkapi dengan sayur dan buah-buahan," kata Yusnalaini Y Makawi. "Itu sebabnya, kalau kita makan di restoran- restoran besar, selalu disediakan buah- buahan untuk sarapan pagi," tambahnya.Karena itu, dia melihat menu sarapan Indonesia berupa nasi dan lauk-pauk berikut sayurnya, merupakan menu sarapan pagi yang baik. "Apalagi biasa- nya ada telur serta ikan, ini me- rupakan diet seimbang," katanya.Menurut pengalaman, masih banyak masyarakat Indonesia yang mengabaikan perlunya makan pagi dan menganggap minum teh manis saja sudah cukup. Padahal, sarapan pagi sama pentingnya dengan makan siang. Hanya saja jumlah atau kebutuhan makan pagi tidak sebanyak makan siang. Secara persentase, Yusnalaini menyebut jumlah makan pagi sekitar seperlima atau seperempat makanan yang seharusnya dikonsumsi sehari."Jangan abaikan makan pagi ini, terutama untuk anak-anak yang masih dalam masa pertumbuhan," katanya.Mengapa sarapan menjadi sangat penting, menurut Yusnalaini karena kadar gula dalam darah akan menurun sekitar dua jam setelah seseorang bangun tidur. "Makanya, jika anak tidak sarapan, dia biasanya akan merasa lemas atau lesu sebelum tengah hari karena gula darah dalam tubuhnya sudah menurun," demikian penjelasan ahli gizi ini.Karena tuntutan gaya hidup yang ingin serba cepat, apa pun jenis sarapan yang disantap tidak menjadi masalah. Mi instan umpamanya, bukan pilihan yang salah, asal saja dilengkapi dengan bahan-bahan lain, seperti telur dan sayuran.Yusnalaini mengingatkan kebiasaan salah pada banyak masyarakat Indonesia yang makan pagi dengan roti isi selai atau cokelat. "Dalam hal ini orang lupa bahwa kita perlu protein. Kalau roti, mentega dan telur, itu sudah mengandung protein, tetapi kalau selai masih perlu ditambah yang lain karena belum lengkap.Tidak bisa menandingiKendati serbuan makanan kemasan praktis melanda masyarakat, ahli gizi dan juga penulis resep masakan Tuti Soenardi mengatakan, ia yakin makanan segar masih menjadi pilihan sehari-hari. Kemajuan teknologi, globalisasi, menurut dia, jelas memberi pengaruh dalam banyak hal. Namun, dia melihat kebiasaan makanan lauk-pauk dalam kaleng belum menjadi suatu kecenderungan ke arah umum."Makanan dalam kaleng, menurut saya masih merupakan kebutuhan insidentil, belum menjadi pola yang memasyarakat," kata Tuti Soenardi. "Apalagi dari sisi harga, makanan dalam kaleng itu relatif mahal," lanjutnya.Ahli gizi yang juga pakar tata boga ini masih yakin makanan buatan dapur rumah tidak akan tertandingi dengan kehadiran makanan apa pun buatan pabrik atau yang dibuat secara massal. Tuti meyakini ini berdasar pengalaman di negara-negara Barat yang masyarakatnya bahkan sudah lebih dahulu menciptakan makanan-makanan serba praktis."Apa yang terjadi di negara-negara Barat, toh mereka akhirnya ramai-ramai mengumandangkan back to nature, termasuk di sini dalam soal makanan," ujar Tuti.Perempuan yang sering keliling daerah ini, percaya bahwa masyarakat Indonesia masih mempunyai tradisi kuat untuk makanan yang dimasak sendiri. Kalaupun ada yang mulai mencari yang serba praktis, menurut dia, larinya bukan ke makanan kaleng, tapi lebih ke bumbu-bumbu instan. "Saya yakin bumbu-bumbu instan ini lebih banyak diminati daripada lauk-pauk dalam kaleng.Selain pertimbangan rasa, pertimbangan ekonomi juga menjadi sangat penting. Berapa banyak sih masyarakat kita yang mampu membeli lauk dalam kaleng untuk makanan sehari-hari," katanya.Lagi-lagi penggunaan bumbu-bumbu instan ini masih dengan catatan. "Aromanya tidak bisa menandingi bumbu buatan sendiri dan lagi standar resepnya beda dan belum tentu cocok dengan selera," demikian komentar Tuti Soenardi.Soal selera ini memang yang paling pelik. Kalau sekadar asal bisa dimakan saja memang mudah. Masalahnya, lidah manusia itu cenderung rewel dalam soal rasa ini, sehingga menyeragamkan rasa ini menjadi sebuah persoalan yang tidak pernah selesai.Mau praktis, mau gampang, mau murah sekaligus, pasti tidak mungkin. Namun, orang harus selalu menyesuaikan dengan keadaan dirinya. Jika mau menghemat waktu, namun te- tap ingin masakan yang lezat seperti resep dari orangtua dulu, harus pandai-pandai mensiasati.Dalam setiap persoalan selalu ada jalan tengah. Dalam soal masakan ini, jalan tengah yang dianjurkan Tuti Soenardi adalah membuat bumbu sendiri yang disimpan dalam lemari pendingin."Buat sekaligus agak banyak sehingga bisa untuk beberapa kali masak," demikian anjuran Tuti.Agar benar-benar aman dan tahan, "Tumis bumbu-bumbu itu sebelum dibekukan. Dengan ditumis, kemungkinan terjadinya kontaminasi bisa dihindari."Begitulah, hanya dengan sedikit upaya, toh yang namanya kepraktisan masih juga bisa diciptakan. (ret)Sumber:

No comments:

IKLAN HARI INI

Slide.com

Picturetrail

Hosting review!